MENYIBAK MISTERI IBNU SHAYYAD
Oleh:
Al-Ustadz Abu ‘Ubaidah Syafruddin
Oleh:
Al-Ustadz Abu ‘Ubaidah Syafruddin
فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu: “Jika ia (Ibnu Shayyad) adalah dia (Dajjal), engkau tidak akan mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah kamu membunuhnya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullahu no. hadits 6075 dan 6076. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul Jana`iz no. hadits 1354, Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabul Fitan wa Asyrathus Sa’ah no. hadits 2930, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu, dalam Kitabul Malahim bab Fi Khabari Ibnu Sha’id no. hadits 4329, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabul Fitan ‘an Rasulillah no. hadits 2175.
Hadits di atas secara lengkap diriwayatkan dari jalan Az-Zuhri dari Salim bin Abdillah, beliau memberitakan:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَخْبَرَهُ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ انْطَلَقَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَهْطٍ قِبَلَ ابْنِ صَيَّادٍ حَتَّى وَجَدَهُ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ عِنْدَ أُطُمِ بَنِي مَغَالَةَ، وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ يَوْمَئِذٍ الْحُلُمَ، فَلَمْ يَشْعُرْ حَتَّى ضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَهْرَهُ بِيَدِهِ، ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاِبْنِ صَيَّادٍ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَنَظَرَ إِلَيْهِ ابنُ صَيَّادٍ فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُوْلُ اللهِ؟ فَرَفَضَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ، ثُمَّ قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَاذَا تَرَى؟ قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأْتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ. ثُمَّ قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيْئاً. فَقَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: هُوَ الدُّخُّ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اخْسَأ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: ذَرْنِي، يَا رَسُوْلَ اللهِ أَضْرِبْ عُنُقَهُ. فَقَال لهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلِّطَ عَلَيْهِ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْهُ فَلاَ خَيْرَ لَكَ فِي قَتْلِهِ. وَقالَ سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ يَقُوْلُ: بَعْدَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ (اْلأَنْصَارِيُّ) إِلَى النَّخْلِ الَّتِي فِيْهَا ابْنُ صَيَّادٍ، إِذَا دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّخْلَ طَفِقَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ وَهُوَ يَخْتِلُ أَنْ يَسْمَعَ مِنِ ابْنِ صَيَّادٍ شَيْئاً قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ ابْنُ صَيَّادٍ، فَرَآهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى فِرَاشٍ فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ، فَرَأَتْ أُمُّ ابْنِ صَيَّادٍ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَّقِي بِجُذُوْعِ النَّخْلِ، فَقَالَتْ لاِبْنِ صَيَّادٍ: يَا صَافِ! – وَهُوَ اسْمُ ابْنِ صَيَّادٍ - هَذَا مُحَمَّدٌ، فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Bahwasanya Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberitakan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sekelompok orang menemui Ibnu Shayyad. Mereka melihatnya tengah bermain-main dengan sejumlah anak laki-laki di dekat benteng dari tembok batu Bani Maghalah. Ketika itu Ibnu Shayyad adalah seorang bocah yang usianya mendekati baligh, dalam keadaan tidak memerhatikan (kami) hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuknya dengan tangan beliau dan berkata: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku utusan Allah?” Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Kemudian Ibnu Shayyad bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah anda bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangkalnya dan berkata: “Aku beriman kepada Allah dan rasul-Nya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada Ibnu Shayyad): “Apa yang kamu lihat?” Ibnu Shayyad menjawab: “Datang kepadaku yang jujur dan yang dusta.” Rasulullah berkata kepadanya: “Tercampur padamu persoalan ini.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (bermaksud menguji): “Aku sembunyikan sesuatu untukmu?” Ibnu Shayyad menebak: “Ad-Dukh (asap/kabut).” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.” Mendengar hal itu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ya Rasulullah, izinkan aku memenggal lehernya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apabila dia (adalah Dajjal), engkau tidak mampu mengalahkannya. Dan jika bukan, sia-sialah membunuhnya.”
(Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menambahkan): “Di kemudian hari ketika Rasulullah pergi bersama Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu ke (kebun) kurma, bertemu kembali dengan Ibnu Shayyad di sana (yang sedang berbaring). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud mendengarkan sesuatu (igauan) dari Ibnu Shayyad sebelum Ibnu Shayyad melihatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Ibnu Shayyad berbaring di atas kasur ditutupi selembar selimut. Terdengar mulutnya bergumam dari balik sebuah batang pohon kurma. Kemudian ibu Ibnu Shayyad melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun membangunkan Ibnu Shayyad: “Wahai Shaf! Ada Muhammad di sini.” Ibnu Shayyad pun bangun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jika ibunya membiarkan dia (tidak mengganggunya), maka perkara Ibnu Shayyad akan terungkap (jelas).”
Penjelasan Mufradat Hadits
فِي رَهْطٍ
Artinya sekumpulan dari kaum laki-laki, mulai dari 3 sampai 10 orang.
ابْنِ صَيَّادٍ
Pada sebagian riwayat menggunakan ابْنِ صَائِدٍ seperti dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhuma, hadits no 2926 dan 2927, Sunan Abi Dawud bab Fi Khabari Ibni Sha`id dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma no hadits 4329. (Lihat Sunan Abi Dawud ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu, cet. Maktabah Al-Ma’arif)
الصِّبْيَانِ
Dalam riwayat lain dengan lafadz الْغِلْمَانِ jamak dari kata غُلَامٌ dengan men-dhammah huruf ghain dan memfathah huruf lam tanpa ditasydid, yaitu masa sejak kelahiran hingga baligh, dan jika yang dimaksud adalah seorang anak setelah masa baligh, maka dinamai dengannya sebagai kiasan. (Lihat Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 1/155)
عِنْدَ أُطُمِ
Dengan men-dhammah huruf hamzah dan tha, maka jamaknya أُطُمُ atau أُطُومٌ artinya benteng yang dibangun dengan tembok batu, atau setiap rumah persegi empat beratapkan semuanya.
بَنِي مَغَالَةَ
Pada sebagian naskah ابْنِ مَغَالَةَ dan yang masyhur dengan بَنِي مَغَالَةَ dengan mem-fathah mim dan ghain tanpa di-tasydid.
Dalam riwayat Muslim rahimahullahu dari jalan Al-Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani dengan lafadz Bani Mu’awiyah dengan men-dhammah mim dan menggunakan ‘ain bukan ghain.
Ulama berkata: “Yang masyhur dan dikenal adalah yang pertama بَنِي مَغَالَةَ.”
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “بَنِي مَغَالَةَ yaitu mereka yang di bagian kanan atau di sisi kanan seseorang jika berdiri menghadap ke Masjid Nabawi.”
وَقَدْ قَارَبَ ابْنُ صَيَّادٍ
Dalam riwayat lain قَدْ نَهَزَ الْـحُلُمَ yaitu قَدْ قَارَبَ الْبُلُوغَ maknanya mendekati masa baligh.
فَلَمْ يَشْعُرْ
Dengan men-dhammah huruf ‘ain bermakna Ibnu Shayyad tidak mengetahui kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dalam keadaan lalai.
Ibnu Shayyad berkata:
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُوْلُ اْلأُمِّيِّيْنَ
“Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan bagi al-ummiyyin (orang-orang yang ummi).” Maksudnya adalah orang-orang Arab, karena kebanyakan mereka tidak bisa menulis dan membaca. Meskipun ditinjau dari sisi lafadz benar, tetapi ditinjau dari sisi makna mengandung kebatilan, yaitu kalimat ini mengandung makna bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hanya untuk orang-orang Arab dan tidak kepada orang-orang ‘ajam, sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Kalimat ini walaupun dimaksudkan untuk membenarkan kerasulan, tapi termasuk dari sekian jumlah bisikan kedustaan yang didatangkannya. Dan itu berasal dari setan.
فَرَفَضَهُ
Riwayat ini terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim. Maknanya menyangkal.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Riwayat kami, dalam hal ini dari jamaah, menggunakan shad (فَرَفَصَهُ) yang bermakna menendang. Sebagian ulama berkata: الرَّفَصُ dengan shad maknanya adalah memukul dengan kaki seperti الرَّفس dengan menggunakan huruf sin artinya menendang/menyepak. Jika benar riwayat ini, maka itulah maknanya.”
Dan di dalam Shahih Al-Bukhari dari riwayat Al-Marwazi dengan lafadz فَرَقَصَهُ dengan huruf qaf dan shad.
Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Gharib-nya meriwayatkan dengan lafadz فَرَصَّهُ dengan shad yaitu menekannya hingga badannya terhimpit.Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
بُنْيَانٌ مَرْصُوْصٌ
“Bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaff: 4)
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
آمَنْتُ بِاللهِ وَبِرَسُوْلِهِ
Jika muncul pertanyaan: Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuhnya, padahal ia menyeru kenabian di saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada? Jawabannya ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Ia dalam keadaan belum baligh.
Kedua: Ia berada pada waktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang terikat perjanjian damai dengan orang-orang Yahudi dan para pembesarnya.
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu dalam Ma’alimus Sunan memastikan jawaban yang kedua. Beliau berkata: “Menurut saya, kisah ini terjadi pada hari-hari perdamaian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi dan tokoh-tokoh mereka. Hal itu terjadi setelah kehadiran beliau di Madinah. Maka ditulislah sebuah perjanjian antara beliau dengan orang-orang Yahudi. Di dalamnya terdapat ishlah agar tidak saling menyerang serta menjauhi urusan masing-masing. Dan Ibnu Shayyad termasuk kalangan mereka atau bagian dari mereka. Dan telah sampai kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perdukunan dan pengakuan mengetahui perkara ghaib yang diserunya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengujinya supaya perkaranya jelas. Maka ketika beliau berbicara dengannya barulah diketahui bahwa ia adalah seorang penyeru kebatilan dari kalangan tukang sihir. Atau orang yang mendatangkan perkataan bangsa jin atau setan yang seringkali menemuinya dan dibisikkan padanya sebagian ucapan mereka.
قَال لَهُ رَسُوْلُ اللهِ: مَاذَا تَرَى
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi menggunakan lafadz مَا يَأتِيْك. Maknanya, apa yang datang kepadamu berupa berita-berita ghaib dan yang semisalnya.
قَالَ ابْنُ صَيَّادٍ: يَأتِيْنِي صَادِقٌ وَكَاذِبٌ
Maknanya adalah terkadang datang berita yang benar dan terkadang datang berita dusta.
خُلِّطَ عَلَيْكَ اْلأَمْرُ
خُلِّطَ adalah kata kerja (fi’il) dalam bentuk pasif berasal dari kata التَّخْلِيطُ bermakna mencampuradukkan.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Tercampur aduk berita yang dibawa setanmu.”
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Maknanya, dia mempunyai beberapa keadaan. Sebagiannya benar dan sebagiannya salah. Karena itu perkaranya menjadi kabur baginya.”
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ
Artinya, aku telah sembunyikan (di dalam diriku).
خَبِيْئاً
Dalam sebagian riwayat dengan lafadz خَبِيْأَةً (kata yang tersembunyi), supaya kamu beritahukan kepadaku.
هُوَ الدُّخُّ
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Yaitu dengan men-dhammah huruf dal dan men-tasydid huruf kha` yaitu suatu istilah bagi ad-dukhan (kabut). Dan penulis Nihayatul Gharib, menghikayatkan dengan mem-fathah dan men-dhammah huruf dal. Adapun yang masyhur pada kitab-kitab lughah dan hadits adalah dengan dhammah saja. Jumhur ulama berpendapat bahwa maksud dari kata ini adalah ad-dukhan, dan itulah bahasanya.”
Dalam hal ini, Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu tidak sependapat. Beliau berkata: “Tidaklah kata الدُّخُّ mengandung makna ad-dukhan (kabut), karena ia bukanlah perkara yang dapat disembunyikan pada telapak atau lengan baju. Kecuali kalau makna ‘aku sembunyikan untukmu’ itu adalah nama kabut dan nama kabut itu sendiri dalam hal ini diperbolehkan. Dan yang benar serta yang masyhur bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya dari Ibnu Shayyad ayat ad-dukhan yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَارْتَقِبْ يَوْمَ تَأْتِي السَّمَاءُ بِدُخَانٍ مُبِيْنٍ
“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (Ad-Dukhan: 10)
Pendapat yang paling benar dalam hal ini adalah bahwa ia tidak mampu menunjukkan sebagian ayat yang disembunyikan Nabi kecuali sekedar lafadz yang tidak sempurna, sebagaimana kebiasaan para dukun apabila setan membisikkan kepada mereka sesuai (berita dari langit) yang mampu ia curi sebelum meteor mengenainya.
اخْسَأْ
Dengan mem-fathah huruf sin dan mensukun hamzah. Kalimat ini digunakan saat mengusir atau menghalau anjing. Berasal dari kata الْخُسُوءُ bermakna زَجَرَ (mengusir atau menghalau) dan juga dipakai untuk merendahkan atau menghinakan seperti:
زَجْرُ الْكَلْبِ أَيْ امْكُثْ صَاغِرًا أَوْ ابْعُدْ حَقِيْرًا أَوْ اسْكُتْ مَزْجُوْرًا
“Tinggallah engkau dalam keadaan hina, menjauhlah engkau dalam keadaan rendah, diamlah engkau dalam keadaan terusir.”
فَلَنْ تَعْدُوَ
Dengan mendhammah dal, maknanya kamu tidak mampu melampaui.
قَدْرَكَ
Yaitu kemampuan yang dicapai dukun berupa pengetahuan sebagian perkara dan hal-hal yang tidak jelas hakikatnya, serta tidak bisa menjelaskan hakikat perkara ghaib.
فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bermakna: “Biarkan dia. Jika dia adalah orang yang kamu takuti, kamu tidak akan mampu membunuhnya. Tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya.” Hal itu disebabkan karena ia masih anak-anak atau tercela (cacat).
Dan disebutkan dalam sebuah hadits dalam Syarhus Sunnah yang artinya: “Jika ia adalah Dajjal maka kamu bukanlah orang (yang membunuhnya), yang membunuhnya hanyalah ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Dan jika dia bukan Dajjal, tidak ada kebaikan bagimu dalam membunuh seorang yang masih dalam perjanjian damai.”
وَهُوَ يَخْتِلُ
Artinya merahasiakan dan mengharapkan ia lalai, agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat mendengar sesuatu dari pembicaraannya. Dan beliau serta para shahabatnya ingin mengetahui keadaannya, apakah dia dukun ataukah tukang sihir.
فَي قَطِيْفَةٍ لَهُ فِيْهَا زَمْزَمَةٌ
زَمْزَمَةٌ pada sebagian naskah tertulis رَمْرَمَةٌ seperti yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari. Al-Qadhi rahimahullahu telah menukil dari jumhur riwayat yang tersebut dalam Shahih Muslim dengan زَمْزَمَةُ dan pada sebagiannya tertulis رَمْزَةُ . Itu semuanya bermakna suara yang lirih/pelan, nyaris tidak difahami atau tidak difahami (sama sekali).
فَثَارَ ابْنُ صَيَّادٍ
Maknanya adalah beranjak dari tempat tidurnya dan bangun berdiri.
لَوْ تَرَكَتْهُ بَيَّنَ
Dalam riwayat lain dari jalan Ya’qub bin Ibrahim bin Sa’d, ia berkata: Ubai bin Ka’ab berkata: “Maksud kalimat ini adalah:
لَوْ تَرَكَتْهُ أُمُّهُ بَيَّنَ أَمْرَهُ
(Kalau saja ibunya membiarkan dia, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan perkaranya).” (lihat Al-Minhaj, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi)
Perselisihan Pendapat tentang Ibnu Shayyad
Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas bahwa Ibnu Shayyad atau dikenal juga dengan Ibnu Sha`id namanya adalah Shaf. Al-Imam Qurthubi rahimahullahu menyebutkan dalam kitabnya At-Tadzkirah lil Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah (hal. 570), tentang perkara Ibnu Shayyad, bahwa ada sejumlah hadits dari beberapa shahabat seperti Jabir bin Abdillah, Ibnu ‘Umar, Abu Sai’d Al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhum.
Abu Sulaiman Al-Khaththabi rahimahullahu mengatakan telah terjadi perselisihan yang banyak dan rumit di kalangan manusia menyangkut Ibnu Shayyad. Di antara shahabat yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal yaitu ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhum (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 571-572)
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Shahih-nya (Kitabul Fitan no. hadits 2929) dari jalan Muhammad ibnul Munkadir, ia berkata: “Aku melihat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bersumpah (dengan menyebut nama Allah) bahwa sesungguhnya Ibnu Sha`id adalah Dajjal. Aku bertanya: “Apakah engkau bersumpah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku mendengar ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bersumpah dalam perkara ini di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan: “Riwayat ini dijadikan dalil oleh beberapa ahlul ilmi akan bolehnya bersumpah dalam perkara yang tidak pasti (zhan) dan tidak disyaratkan harus dalam perkara yang pasti (al-yaqin). Dan ini adalah perkara yang disepakati menurut madzhab kami (Asy-Syafi’iyyah).” (Al-Minhaj, 18/ 258-259)
Dalam riwayat yang lain dari jalan Ibnu ‘Aun, dari Nafi’, ia berkata: Nafi’ berkata tentang Ibnu Shayyad: Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku bertemu dengannya dua kali. Pertemuan (pertama) aku berkata kepada salah seorang dari mereka: ‘Apakah kalian membicarakan bahwa dia adalah Dajjal?’ Salah seorang menjawab: ‘Bukan, demi Allah!’ Aku berkata: ‘Demi Allah, engkau berdusta kepadaku. Sungguh sebagian kalian telah mengabarkan kepadaku bahwa Dajjal tidak akan mati sampai ia menjadi orang yang terbanyak harta dan anaknya di antara kalian sebagaimana dia yang dibicarakan hari ini.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma melanjutkan: “Kami berbincang-bincang setelah itu. Lalu aku berpisah dengannya.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan: “Aku bertemu dengannya lagi dan matanya telah membengkak. Aku bertanya: ‘Kapan matamu bengkak seperti yang aku lihat?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak tahu.’ Kemudian aku bertanya lagi: ‘Engkau tidak tahu, padahal mata itu berada di kepalamu?’ Ia pun menjawab: ‘Jika Allah menghendaki, Allah akan menciptakan mata itu pada tongkatmu ini.’ Ibnu ‘Umar berkata: ‘Diapun mendengus keras seperti suara dengusan keledai yang pernah aku dengar. Hingga sebagian sahabatku mengira aku memukulnya dengan tongkat yang bersamaku hingga patah. Dan demi Allah, aku tidak merasa’.”
Kemudian diriwayatkan dari jalan Abu Nadhrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku menemani Ibnu Shayyad dalam sebuah perjalanan menuju Makkah. Ia pun berkata kepadaku: ‘Aku telah menjumpai beberapa orang. Mereka menyangka bahwasanya aku ini adalah Dajjal. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya Dajjal itu tidak beranak?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Iapun berkata: ‘Sungguh telah lahir dariku seorang anak -dalam sebagian riwayat: aku tinggalkan anakku di Madinah-.‘Bukankah engkau telah mendengar Rasulullah berkata: ‘Dajjal tidak akan masuk Madinah dan Makkah’?’ Aku menjawab: ‘Benar.’ Ia pun berkata: ‘Aku dilahirkan di Madinah dan sekarang ini aku menuju Makkah.’
Pada riwayat yang lain: “Bukankah Nabiyullah telah berkata bahwa dia seorang Yahudi dan sungguh aku seorang muslim?”
Kemudian di akhir pembicaraannya ia berkata kepadaku: “Demi Allah, sungguh aku tahu di mana lahirnya, tempatnya, dan di mana dia sekarang.”
Abu Sa’id berkata: “Ia pun mengacaukan/mengaburkan perkara ini terhadapku.”
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu menjelaskan: “Hikmah yang terdapat dalam perkara Ibnu Shayyad adalah sebuah fitnah (ujian) yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-hamba-Nya yang mukmin. Agar orang yang binasa itu menjadi binasa dengan keterangan yang nyata, dan agar orang yang hidup itu menjadi hidup dengan keterangan yang nyata pula. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menguji kaum Nabi Musa ‘alaihissalam di zamannya dengan seekor anak sapi. Binasalah sebagiannya dan selamatlah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk.
Telah terjadi perselisihan riwayat tentang perkara Ibnu Shayyad setelah dia tua. Ada riwayat yang menyatakan ia bertaubat dari apa yang telah ia ucapkan. Ia kemudian meninggal di Madinah. Tatkala mereka ingin menyalatkan jenazahnya disingkaplah wajahnya sampai orang-orang melihatnya dan dikatakan kepada mereka: ‘Saksikanlah oleh kalian.’ Kemudian beliau berkata: Syaikh (Abu Sulaiman) berkata: ‘Yang benar dalam perkara ini adalah sebaliknya, berdasarkan sumpah Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu,, yang menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Dan diriwayatkan pula bahwa Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Dia adalah Dajjal’.” (At-Tadzkirah li Ahwalil Mauta wa Umuril Akhirah hal. 572)
Ibnu Hajar rahimahullahu menguatkan pendapat bahwa Ibnu Shayyad bukanlah Dajjal yang dimaksud dalam hadits-hadits, yang akan keluar di akhir zaman, dengan beberapa alasan, yang bisa dilihat dalam Fathul Bari dan Asyrathus Sa’ah (ed).
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=536
0 komentar:
Post a Comment