HUKUM MENGATAKAN FULAN SYAHID
Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahulla
Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholih Al-’Utsaimin rahimahulla
Pertanyaan; “Apa hukumnya mengatakan: “fulan syahid” ?”
Jawab; Memberikan kesaksian kepada seseorang bahwa dia syahid, ada dua bentuk;
Yang pertama; yaitu dengan mengaitkannya kepada sifat tertentu, seperti mengatakan setiap yang terbunuh fisabilillah adalah syahid, barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka dia syahid, dan yang meninggal karena tha’un maka dia syahid atau yang semisalnya. Yang seperti ini hukumnya boleh sebagaimana datang keterangannya dalam banyak nas. Karena dengan demikian berarti anda memberikan kesaksian seperti yang diberitakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang kami maksud boleh, bahwa yang seperti ini tidak terlarang, karena mempersaksikan yang demikian pada hakikatnya adalah wajib sebagai pembenaran atas berita yang disampaikan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua; Dengan mengaitkan kesaksian tersebut kepada orang tertentu, seperti mengatakan berkenaan dengan orang tertentu bahwa dia syahid. Hal ini tidak boleh kecuali untuk orang yang telah dipersaksikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia syahid, atau ummat sepakat memberikan kesaksian demikian untuknya. Al Imam Bukhari rahimahullah membuat satu bab akan hal ini (dalam Shahih-nya) dengan perkataannya, “Bab tidak bolehnya mengatakan fulan syahid”. Berkata Al Hafidz dalam Al Fath (6/90), “Yakni mengatakannya dengan kepastian (memastikan) kecuali apabila dipersaksikan dengan wahyu. Sepertinya Al Bukhari mengisyaratkan kepada hadist Umar RA ketika beliau khutbah ia berkata, “Kalian mengatakan disaat peperangan bahwa fulan syahid, fulan telah mati sebagai syahid, dan siapa tahu ternyata dia telah membebani tunggangannya, ketahuilah jangan kalian katakan yang demikian akan tetapi katakanlah seperti yang dikatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam barangsiapa yang mati fisabilillah atau terbunuh maka dia syahid”. Hadist ini hasan dikeluarkan oleh Ahmad dan Sa’id bin Manshur dan selainnya dari jalan Muhammad bin Sirin dari Abul ‘Ajfa’ dari Umar radhiallahu ‘anhu”. Selesai perkataan Al Hafidz.
Juga karena persaksian akan sesuatu tidak terjadi kecuali dilandasi dengan ilmu. Dan syarat seseorang dikatakan syahid adalah dia berperang demi tegaknya kalimat Allah dan ini adalah niat yang tersembunyi didalam batin seseorang, yang tidak diketahui siapapun. Karena itulah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengisyaratkan akan yang demikian, “Perumpamaan seorang mujahid dijalan Allah –hanya Allah yang mengetahui siapa yang berjihad dijalan-Nya-…”. Beliau juga bersabda, “Sungguh demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka fisabilillah –hanya Allah yang tahu siapa yang terluka dijalan-Nya- kecuali dia datang dihari kiamat dengan luka yang mengeluarkan darah, warnanya warnya darah, baunya bau misik” kedua hadist diatas diriwayatkan oleh Al Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.
Akan tetapi barangsiapa yang lahiriyahnya shalih, maka kita mengharapkan untuknya demikian, tanpa memberikan kesaksian (memastikan), dan juga tidak berburuk sangka padanya. Dan harapan adalah suatu tingkat diantara dua martabat. Dan kita memperlakukannya dengan hukum orang yang syahid apabila terbunuh dalam jihad fisabilillah, dikuburkan dengan darah dan pakaiannya, tanpa dishalatkan. Dan apabila dia tergolong dari syuhada’ yang lain maka dimandikan, dikafani, dan dishalatkan.
Juga apabila kita mempersaksikan seseorang tertentu bahwa dia syahid, berarti berdasarkan persaksian ini kita juga mempersaksikan bahwa dia termasuk ahli surga, dan ini bersebrangan dengan ajaran ahlussunnah wal jamaah, karena mereka tidak mempersaksikan dengan surga kecuali orang-orang yang dipersaksikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apakah dengan sifat atau orang tertentu. Dan ulama yang lain berpendapat bolehnya memberikan kesaksian dengannya bagi seseorang yang ummat sepakat dalam memujinya diantara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dari sini kita mengetahui bahwa tidak boleh memberikan kepada orang tetentu kesaksian bahwa dia syahid kecuali dengan nas atau kesepakatan ummat. Akan tetapi Barangsiapa yang lahiriyahnya shalih kita mengharapkan untuknya demikian seperti yang telah dijelaskan. Dan hal ini cukup sebagai keistimewaan baginya. Dan hakikatnya ada disisi Penciptanya Subhanahu Wa Ta’ala.
Diterjemahkan dari kitab Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. (Hal 197-199 pertanyaan no 114)
Sumber: http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=9
0 komentar:
Post a Comment