Home » , » Hikmah Dalam Dakwah

Hikmah Dalam Dakwah

Pada suatu hari, saat Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya sedang berada di masjid, tiba-tiba datang seorang Arab Gunung (Badui) kencing pada salah satu bagian masjid. Melihat kelakuan badui ini para sahabat marah, bahkan ada sebagiannya yang hendak menarik dan menghajarnya. “Mah! Mah!”, Kata para sahabat menghardik si badui agar tidak kencing di sana, namun tidaklah de-mikian dengan Rasulullah. Beliau melarang para sahabatnya berbuat kasar kepada si Ba-dui ini. “Biarkan! Biarkan!” kata Nabi. Setelah ‘buang hajat’nya selesai, dipanggilah orang itu.

Dengan lemah lembut Nabi katakan kepadanya: “Ini adalah Masjid, bukan tempat kencing dan buang kotoran. Sesungguhnya tempat ini untuk dzikrullah, shalat dan membaca al Quran”. Nabi kemudian menyu-ruh seseorang untuk menuangkan air pada bekas kencing orang tersebut. Apa reaksi Arab Gunung menyaksikan kelembutan Nabi terhadap dirinya, berbeda dengan para sahabat yang tampak begitu geram, dia ka-gum dan berdo’a: “Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad dan jangan rahmati seorang pun selain kami berdua”. Dasar memang Ba-dui! Kemudian Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan orang ini dengan kelembutan. “Kenapa engkau menyempitkan sesuatu yang luas? Bukankah rahmat Allah itu luas?”. Demikianlah Imam Bukhari dan Muslim menukilkan peristiwa itu dari Sahabat Anas bin Malik.

Pada peristiwa lain disebutkan dalam suatu riwayat dari Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami, “Aku dan para shahabat sholat bersama Rasulullah. Tiba-tiba ada seseorang dari jamaah yang bersin. Lantas kukatakan: “Yarhamukallah!” Maka kudapati semua mata mengarahkan pandangannya padaku. Kuka-takan: ”Ada apa dengan kalian ini”? Ketika mereka melihatku berbicara dalam sholat, mereka memukulkan tangannya pada paha-paha merekapun (sebagai isyarat untuk diam). Tatkala mereka tampak diam tanpa bicara, maka aku pun diam. Setelah rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam selesai sholat, maka kudapati tak ada seorang pengajarpun yang lebih baik daripada beliau. Ayah ibuku sebagai jaminan, beliau tidak menghardik, memukul atau mencelaku. Bahkan dengan sabar beliau katakan: “Kita sedang shalat, padanya tidak boleh ada perkataan manusia. Sesungguhnya dalam sholat hanyalah untuk bertasbih, bertakbir dan bacaan al-Qur’an”. (Diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya).

Kesabaran dan kelembutan adalah salah satu dari sekian akhlaq mulia Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, bahkan terhadap mereka yang pernah menya-kiti dirinya sekalipun. Seperti terjadi pada ki-sah datangnya Malakul Jibal (malaikat pen-jaga gunung uhud) kepada beliau –sekembali beliau dari Thaif yang penduduknya menolak dakwah beliau, mencacinya bahkan menyaki-tinya. Malakul Jibal mengatakan: “Ya Rasu-lullah, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan mereka terhadapmu, dan aku adalah Malakul Jibal yang diutus Allah kepadamu untuk mentaati segala apa yang engkau perin-tahkan. Apa yang engkau kehendaki? Jika engkau mau, niscaya akan kuratakan negeri mereka dengan tanah”. Apa jawaban Rasu-lullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Tidak, bahkan aku berharap dari keturunan mereka akan muncul orang yang beribadah kepada Allah yang tidak menyekutukannya.
Dalam riwayat lain beliau shalallahu 'alaihi wa sallam berdoa:
رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
Ya Allah berikan petunjuk kepada kaumku, karena mereka orang-orang yang tidak megerti. (HR. Bukhari Muslim)

Demikianlah apa yang kita dapati dari pribadi beliau dalam berdakwah, penuh ke-lembutan yang memang demikianlah hukum asal dalam berdakwah. Sebagaimana dikata-kan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Tidaklah ada kelembutan pada sesuatu, kecuali ia akan mengindahkannya. Dan ti-daklah tercabut dari sesuatu, kecuali akan menjelekkannya. (HR. Muslim)

Dalam lafadz yang lain beliau shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ
Barangsiapa yang terhalang berbuat kelem-butan, maka akan terhalang dari kebaikan. (HR. Muslim)

Sikap lemah-lembut ini pula yang me-nuai pujian Allah terhadap diri beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana Allah katakan dalan firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlaq mulia.(al-Qalam: 4)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Dikarenakan rahmat Allah-lah engkau berle-mah lembut. Sekiranya engkau berhati keras niscaya mereka akan lari dari sekitarmu. Maafkanlah mereka dan mintakan ampun untuk mereka…. (Ali Imran: 159)

Sungguhpun demikian, bukan berarti ti-dak pernah dicontohkan sikap keras dan ma-rah oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Terkadang beliau pun bersikap tegas bahkan keras.
Pada dasarnya memang begitu, seorang penyeru atau da’i bagaikan dokter mengha-dapi pasiennya. Adakalanya ia memberikan obat dengan dosis rendah. Namun jika pada saat tertentu, ia akan memberikan obat de-ngan dosis tinggi atau bahkan mengantarkan-nya ke meja operasi atau amputasi. Inilah yang dinamakan hikmah yang bermakna: te-pat dalam menempatkan sesuatu pada tem-patnya, baik dalam ucapan maupun perbu-atan. Kapan ia harus bersikap lembut dan kapan harus bersikap keras.

Terkadang, seseorang itu perlu disikapi dengan lemah lembut karena ia orang awam, belum mengerti tetang hukum dan aturan agama seperti si badui tadi , atau mungkin ba-ru memeluk agama ini seperti Mu’awiyah bin Hakam dalam kisah di atas. Adakalanya sikap tegas dan keras diperlukan untuk menasihati seseorang yang pada dasarnya memiliki ke-ikhlasan dalam beragama namun berbuat sesuatu yang tidak pantas ia kerjakan. Atau mereka yang terlelap dalam kelalaian yang dalam dirinya masih terselip kecenderungan untuk berbuat baik dan gelisah dengan kemungkaran dan kemaksiatan atau buat mereka yang hatinya tengah sakit sehingga dibutuhkan ‘shock terapi’ sebagai pelecut semangat dalam mengikuti kebenaran.
Kita perhatikan beberapa riwayat beri-kut ini yang menunjukan sikap diameteral dengan kisah-kisah tersebut di atas.

Dikisahkan dari Jabir rodhiallahu 'anhu bahwa Mu’adz bin Jabal shalat Isya bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Setelah itu ia pulang ke kaumnya dan meng-imami sholat di sana. Ia pada rakaat pertama membaca surat al-Baqarah. Kemudian sese-orang keluar dari shalat tersebut dan melan-jutkan shalat sendirian. Orang-orangpun ber-kata: “Engkau munafik”? Ia menjawab: “Ti-dak! Demi Allah, aku akan adukan kepada Ra-sulullah.” Mereka datang dan mengadukan-nya kepada Nabi. Berkata si pemuda: “Ya Rasulullah, kami adalah orang yang bekerja seharian, sesungguhnya Mu’adz shalat isya bersama engkau, setelah itu ia mengimami kami dan membaca surat al-Baqarah –pada-hal kami membutuhkan waktu istirahat”. Na-bi shalallahu 'alaihi wa sallam kemudian berpaling kepada Mu’adz seraya berkata:
يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا
Ya Mu’adz, apakah kamu mau jadi tukang fitnah?! (Jika engkau mengimami) bacalah ini dan itu! (HR Bukhari dan Muslim)

Imam Muslim juga telah mengeluarkan dalam shahihnya, bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam meli-hat seseorang mengenakan cincin dari emas di jarinya. Maka beliau shalallahu 'alaihi wa sallam mencabut dan me-lemparkannya seraya bersabda:
يَعْمَدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنَ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ
Sungguh salah seorang di antara kalian dengan sengaja melingkarkan api neraka di tangannya!
Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam pergi, dikatakan pada orang tadi. “Ambil cincinmu kembali, siapa tahu ia berguna.” Maka dijawabnya: “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam selamanya”.

Dua peristiwa di atas merupakan tegur-an keras dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Apalagi bagi se-orang Mu’adz bin Jabal yang dikenal mempu-nyai banyak keutamaan dan merupakan ke-percayaan Rasulullah. Sehingga ucapan Rasu-lullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang keras itu demikian menghun-jam dalam sanubarinya, dan kemudian mem-bawanya pada sebuah kesadaran atas keke-liruan yang ia perbuat. Muadz, memang telah memberikan persaksian bagi kita bahwa be-liau memang ikhlas dalam beramal yang me-ngantarkannya pada posisi diridhoi Allah.

Demikian halnya laki-laki bercincin emas tadi. Teguran Nabi dibarengi dengan menarik dan membuang cincin yang dikena-kannya adalah sebuah tamparan keras akan kelalaiannya. Bukannya mereka kemudian lari dan menjauh dari kebenaran yang sampai kepadanya, yang ada justru semakin mengo-kohkan keimanannya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dengan tidak menghiraukan perhiasan yang memiliki nilai dalam pandangan manusia yang berorientasi terhadap dunia.

Ketegasan sikap Nabi ini diikuti pula oleh para sahabatnya yang mulia. Sahabat Nabi adalah model masyarakat yang paling ideal dan sempurna dalam mengaplikasikan risalah yang yang dibawa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam saat itu. Me-reka hidup bersama Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, mereka menyak-sikan wahyu yang diturunkan sekaligus me-ngerti apa yang dimaukan Rabb-nya karena mendapat bimbingan langsung dari al-Khalil Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karenanya, kepada mere-kalah firman Allah tujukan:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ
Kalian adalah umat yang terbaik. (Ali Imran: 110)

Dengan demikian jika ingin menjadi yang ter-baik kita tinggal mengikuti dan mencontoh mereka. Dan kepada mereka pula Allah telah memberikan garansi keridhaan sebagaimana firman-Nya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
Orang-orang yang pertama kali masuk Is-lam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah…(at-Taubah: 100)

Kita lihat pensikapan generasi terbaik dalam menjalankan dan menjaga kebenaran terha-dap mereka yang memang harus disikapi de-ngan tegas.

Adalah Abdullah bin Mughaffal ketika melihat seseorang melempar (musuh dengan batu dalam suatu peperangan), ia berkata:
لاَ تَخْذِفْ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُ أَوْ قَالَ يَنْهَى عَنِ الْخَذْفِ فَإِنَّهُ لاَ يُصْطَادُ بِهِ الصَّيْدُ وَلاَ يُنْكَأُ بِهِ الْعَدُوُّ وَلَكِنَّهُ يَكْسِرُ السِّنَّ وَيَفْقَأُ الْعَيْن
Jangan melempar, karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam membenci atau melarang melempar. Karena dengannya tidak dapat membinasakan mu-suh dan mengalahkannya. Ia hanya bisa me-rontokkan gigi dan membutakan mata.

Kemudian Abdullah bin Mughoffal setelah itu masih melihat orang tadi melempar. Maka ia katakan kepadanya. “Aku menyampaikan ha-dits kepadamu tentang larangan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melempar dan tidak menyukainya tapi eng-kau terus melakukan itu, Aku tidak mau berbicara denganmu selamanya!” ((HR. Bu-khari-Muslim)

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Khathab, bahwa Rasu-lullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Jika perempuan-perem-puan kalian meminta izin untuk pergi ke masjid janganlah kalian melarangnya” Berka-ta Bilal bin Abdullah bin Umar bin Khattab: “Demi Allah, aku akan melarang mereka” Ber-kata (perawi): “Ibnu Umar kemudian men-celanya dengan celaan yang jelek yang tidak pernah didengarnya celaan seperti itu. Kata Ibnu Umar: “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah lantas kau katakan, Demi Allah aku akan melarangnya”. Maka diriwayatkan, hingga wafatnya, Ibnu Umar tidak mau ber-bicara dengan anaknya, Bilal.

Sikap tegas sebagai bagian dari hikmah dalam mensikapi mereka yang lalai, atau me-nentang prinsip agama adalah buah dari pro-ses tarbiyyah yang dibimbing Allah dan Ra-sul-Nya. Bahkan Allah membuat celaan-celaan yang vulgar seperti, “Mereka adalah binatang ternak” saat memberi julukan ke-pada orang yang tidak menggunakan mata, telinga dan hati untuk menerima kebenaran. (Lihat surat Al-A’raaf ayat 179). Atau Allah katakan “Keledai” kepada pembawa Taurat yang tidak memahami isinya (Surat Al-Jum-’at: 5). Bahkan terhadap orang-orang kafir dan munafik Allah memerintahkan untuk bersikap keras dan melakukannya adalah Ji-had.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. (at- Tahrim:9)

Sikap itu bukan muncul dari istiadat dan budaya yang sering disalahpahami ba-nyak orang. Sekeras apapun orangnya jika memang agama ini mengharuskan ia berlaku lembut maka ia pun lembut. Sebaliknya, tipi-kal lembut pada seseorang tidak mengha-langinya untuk berbuat tegas bahkan keras, melebihi orang yang keras sekalipun jika agama ini memerintahkannya. Kesemuanya itu muncul pada kehidupan para sahabat Na-bi, semasa hidup atau sepeninggal beliau shalallahu 'alaihi wa sallam.

Menolak bersikap tegas terhadap orang yang harus disikapi tegas sama artinya de-ngan menolak petunjuk yang datangnya dari Allah dan RasulNya serta amalan generasi terbaik umat ini. Maka para Ulam Ahlussunnah sejak zaman salaf sampai hari ini sepakat untuk bersikap keras dan tegas kepada para munafikin dan ahlul bid’ah.

Yang menyedihkan adalah ketika mereka yang menamakan diri Komu-nitas Bening Hati atau para pengusung dakwah sejuk menganggap dakwah seperti itu sebagai dakwah yang keras, pemecah-belah umat, picik, tidak mau menerima perbedaan pendapat, selalu merasa diri yang paling be-nar, tukang cela, suka mendholimi sesama muslim, akan dijauhi umat dan seabreg tu-dingan lainnya.

Jawaban yang memuaskan atas kebim-bangan dan kebingungan dari berbagai syub-hat yang menerpa umat ini di antaranya datang dari Ulama besar, Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal:
إِذَا سَكَتَ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَنْ يُعَرِّفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحُ مِنَ السَّقِيْمِ؟
Jika engkau diam dan aku diam(tidk mau membicarakan kejelekan para rawi, pen), maka bagaimana seorang yang bodohl dapat mengetahui hadits shahih dari yang dha’if?. (lihat Irsyadul Bariyyah, hal. 103).
Abu Zaky bin Muchtar

0 komentar:

ANDA MEMBUTUHKAN BIBIT MANGGA BERKWALITAS?

Kami Bibit Unggul Nursery menyediakan berbagai Bibit Mangga Berkwalitas, missal: Mangga Erwin/Irwin, Mangga Kiojay, Mangga Chokanam, mangga Namdokmay, Mangga Mahatir. Kami juga menyediakan Bibit Durian Monthong, Durian Bhineka Bawor, Jeruk Chokun, Jeruk Santang.

Segera Hubungi Kami di:

0852-2081-6455.

Lengkapi koleksi kebun Anda dengan Bibit Berkwalitas dari kami

Kami siap melayani pembelian(Grosir dan Eceran) bibit dari seluruh Indonesia dengan kwalitas bibit unggulan dan harga terjangkau.

Komentar Terbaru